Jakartakita.com
: Sejak zaman penjajahan Belanda, Jakarta merupakan kota metropolitan yang
menjadi denyut nadi kehidupan perkotaan Hindia-Belanda. Pembangunan di kota
Jakarta yang dahulu bernama Batavia melampaui pembangunan di kota-kota lainnya
di Indonesia. Salah satu yang menjadi daya tarik kota Batavia tempo dulu adalah
bioskop.
Ada orang Belanda
bernama Talbot, yang pertama kali mengusahakan bioskop keliling. Bioskop
keliling yang berupa kotak dari gedek dan beratapkan seng itu biasa mangkal di
kawasan Lapangan Gambir (sekarang Monas). Setelah pertunjukan usai, Talbot
biasa membawanya berkeliling ke kota lain.
Baru pada Desember
1900 seorang Belanda bernama Schwarz mendirikan bioskop pertama di Indonesia,
di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat, dengan harga karcis kelas I harganya dua
gulden (perak) sedangkan kelas dua setengah perak. Setelah gedung bioskop itu
terbakar, bioskop pindah di kawasan Pasar Baru.
Seorang Belanda yang
lain bernama De Calonne pun ikut mengusahakan bioskop di lapangan terbuka
dengan nama Deca Park. Bioskop ini mirip konsep ‘misbar’ gerimis bubar atau
layar tancap. Kemudian De Calonne mendirikan gedung bioskop Capitol di kawasan
Pintu Air. Bioskop ini dahulu merupakan salah satu tempat ekslusif, karena
Bioskop Capitol hanya diperuntukkan bagi orang Belanda, pejabat pribumi dan
anggota ‘Volksraad’ saja.
Sekitar tahun 1940-an
mulai bermunculan bioskop-bioskop lain di Jakarta, seperti; Bioskop Elite di
Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Orion di Glodok, Oost Java di Jl. Veteran,
Rembrandt di Pintu Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan, dan lain-lain.
Pada masa itu, film
masih berupa video bisu alias tanpa suara. Biasanya bioskop memutar musik yang
jarang sekali ‘nyambung’ dengan film yang diputar. Salah satu film favorit pada
masa itu adalah film-film bisu yang dibintangi oleh Charlie Chaplin.
Bioskop Oost Java
yang terletak di Jalan Veteran, dahulu pernah digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan Kongres Pemuda II. Dalam kongres inilah W.R Supratman dengan
biolanya memperkenalkan lagu “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya.
Kini bioskop-bioskop
tua itu hanya tinggal kenangan, tidak ada lagi yang tersisa kecuali catatan
sejarahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar